Judul: Im Herzen waren wir Indonesier
Penulis: Gret Surbeck
Penerbit: Limmat Verag, 2007
Tebal: 508
Christa Miranda, menemukan buku harian neneknya Gret Surbek di rumah liburan di danau Brienzersee. Buku harian itu ada 17 bundel dibungkkus karton warna biru tergeletak di meja. Manuskrip itu terdiri dari 2000 halaman dan sebagian terlipat dengan foto hitam putih yang sudah memudar.
“Indonesia sangatlah terlalu jauh dari saya meskipun ayah saya, Bernie Surbek sering bercerita tentang masa perantauannya itu. Apalagi nenek saya. Ia paham sekali cerita yang menakjubkan dari negeri di timur jauh. Ia memasak dengan bumbu-bumbu aneh dan memakai pakaian mencolok yang warna-warni. Kadang saya bayangkan betapa nenek saya menjadi perempuan yang tabah dan perkasa,“ kata Christa Miranda.
Lewat buku harian itu sang cucu mulai paham sejarah neneknya, meskipun neneknya sudah meninggal. Ia menikmati kisah hidup di negeri eksotis, termasuk cara membuat lelucon. Dengan berjalannya waktu, buku harian yang sifatnya pribadi itu akhirnya disadari sebagai dokumen bersejarah, baik untuk negeri Swiss maupun Indonesia.
Sebuah kisah gadis Swiss dari kota Bern bernama Gret berusia 19 tahun yang nikah dengan Kurt, dokter spesialis Tropis. Ia yang tak punya pengalaman hidup di negeri asing itu harus ikut suaminya berangkat ke hutan di Sumatra. Dokter Kurt bekerja pada beberapa rumah sakit milik perkebunan Belanda. Selama mereka hidup di beberapa kota di Sumatra Utara, lahirlah dua anak laki-laki dan perempuan bernama Bernie dan Gladys. Adapun Christa Miranda adalah anaknya Bernie
Dengan masuknya Jepang ke Sumatra, mereka berpindah ke Bandung. Di Bandung ia mendirikan sebuah sanatorium bernama Solsana,
Pasangan ini dihadapkan pada situasi ambivalen. Satu sisi mereka menjadi tamu pekerja pada negeri jajahan Belanda, di sisi lain mereka bercengkerama dengan masyarakat setempat. Mereka tidak menyukai budaya Belanda di negeri jajahan, sebaliknya mereka justru mengagumi kebudayaan setempat bahkan belajar bahasa Indonesia.
Ketika Jepang masuk dengan kebrutalannya, maka Bernie dikirim untuk sekolah di Perth, Australia. Sementara Gladys tetap ikut orang tua. Seolah Gladys tidak tega jauh dari orang tuanya. Kurt beralih tugas ke Palang Merah Internasional. Untungnya keluarga ini selamat.
SUMATRA: 1919 – 1933
Gret telah berkemas-kemas menuju negeri nun jauh yang tak pernah dipikirkan di benak, apalagi pada saat ia masih berusia sangat belia, yakni 19 tahun. Lebih selusin celemek dari berbagai ukuran ia bawa untuk dipakai memasak di negeri rantau. Antusiasnya sangat tampak, apalagi dia berujar, merasa sangat senang ke negara yang jauh dan tak akan bertemu atribut nasionalis konservatif Swiss yang dia benci.
Sumatra memang sudah ia pelajari di pelajaran geografi di sekolah, namun ia merasa belum cukup. Maka dibelilah beberapa buku dan mulai mengenal lebih detil, nama-nama kota Medan, Padang, Palembang, Kota Radja. Jumlah penduduk pulau Sumatra kala itu sekitar 8 juta.
Ia penasaran dengan beberapa binatang buas seperti harimau, gajah, dan orang utan. Juga gunung api seperti gunung Dempo, Sibajak, serta kali Musi. Bahasa Melayu juga menjadi incarannya untuk dipelajari.
Mereka sudah membeli tiket kapal uap dari Belanda ke Singapur. Ia sebut harga tiket itu lebih murah dari 2 lusin celemek yang ia beli di Swiss. Ketika persiapan sudah cukup, Gret diantar kakak perempuannya dan ibunya naik kereta api dari Swiss menuju Amsterdam. Ibu Gret menikah dengan lelaki yang berusia 22 tahun lebih tua. Saat Gret belum berusia 13 tahun, ibunya sudah menjadi janda, karena sang ayah meninggal. Sebab itu Gret merasa berat meninggalkan kakak perempuan dan ibunya. Bagi Gret yang masih sangat muda itu merupakan pertama kalinya pergi jauh sampai Amsterdam, kota pelabuhan besar. Ketika ia memasuki kapal uap yang akan membawa ke Singapur selama 33 hari itu, ia terlintas kisah kapal Titanic yang naas. Gret juga tak sempat berpikiran, bagaimana nanti kalau punya anak, apakah harus lahir di Sumatra?
Dalam perjalanan di kapal Gret sering berdansa dengan para marinir Belanda. Di Singapur mereka melangsungkan upacara perkawinan pada bulan November 1920 di hotel Europa yang mewah. Kemudian mereka melangsungkan ritual di gereja Skotland dam disaksikan secara resmi oleh konsul Swiss. Media Singapore Free Press mewartakan secara detil jalannya upacara perkawinan itu. Hanya selang sehari, mereka harus naik kapal lagi menuju Sumatra dengan tujuan utama ke Batang Seponggol.
Kapal mendarat di Medan dan mereka menginap di hotel China. Di sinilah Gret dan Kurt mulai bertemu beberapa orang Swiss dan Belanda yang memiliki perkebunan. Perjalanan dilanjutkan dengan boat lagi. Panorama tropis sudah bisa mereka saksikan di depan mata. Ketika Gret bertanya nahkoda, berapa lama lagi akan sampai? Dijawab sekitar 12 tikungan sungai lagi baru sampai.
Waktu tempuh total ada 50 jam.
Rumah Panggung di Batang Saponggol
Pada 1 Desember 1920 Gret dan Kurt tiba di Batang Seponggol menempati rumah kayu di daerah perkebunan.
Bagian belakang rumah panggung ini belum selesai dibangun. Bayangannya, begitu mereka memasuki rumah, mebel yang mereka pesan dari Singapur juga sudah tiba, ternyata juga belum datang. Dua bulan berlalu pesanan mebel dari Singapur baru tiba dengan kondisi berbeda lebih buruk. Gret sebut hari berikutnya akan mendapat kiriman tukang masak dari Medan yang sudah dipesan oleh temannya orang Swiss. Selain juru masak masih ada 1 babu dan 1 boy, istilah yang dipakai Gret. Sang babu mengurus rumah dan boy dari lingkungan keluarga kuli itu akan bertugas mengambil persediaan air di rumah.
Gret merasa kerasan. Ia sering bergaul dengan kalangan pejabat Belanda dan juga ke masyarakat setempat. Ia sangat yakin, bahwa dirinya tak akan pernah bosan hidup di negeri tropis. Pada 14 hari pertama ia sudah banyak menyaksikan beberapa peristiwa. Misalnya, ada orang Melayu menembak harimau, sementara Kurt dan kelompok berburunya tak dapat apa-apa. Namun tak lama kemudian, Kurt yang sebagai pioner mendirikan kelompok berburu berhasil membawa pulang binatang mencawak dengan panjang 1 meter. Seorang manajer selama 3 hari baru berhasil menembak beruang madu dengan bulu yang indah. Dan seekor ular panjang dibunuh oleh kuli. Binatang buas itulah yang membuat Gret takut di rumah sendirian, terutama ketika ditinggal suaminya berburu ke hutan lewat jalan sungai selama 10 hari.
Pada perayaan natal ada anak kecil Melayu ke rumahnya Gret memberi pisang emas dan ketimun. Suatu saat ada musibah menimpa Kurt dan 4 orang Eropa lain terkena serangan malaria.
Kegiatan Gret juga menjahit dengan mesin Singer. Si Boy yang berasal dari Jawa di rumahnya mulai ia kenal dengan panggilan Kuseran. Gret merasakan Kuseran ini rindu pulang ke Jawa, itu bisa dipahami, karena sebagai buruh kontrakan di perkebunan masih berusia 10 tahun. Boy Jawa ini akhirnya hanya setahun ikut keluarga Kurt. Tetapi Gret merasa terkesan sampai kapanpun. Adapun babunya setia mengabdi sampai keluarga Kurt ini pindah tempat. Namun ada hal yang mengusik hati Gret, karena babunya ini suka mencoba baju Gret, dan Gret pun tak marah, karena paham gaji babu itu Sfr 30 (kurs 2019 : Rp 420 ribu)/bulan.
Ketika hujan turun berminggu-minggu, tetap saja matahari mencuat. Atas pengamatan Gret, ia bayangkan, jika akan menulis buku tentang tropis, maka judul yang baik adalah Tiada Hari tanpa Matahari.
Medan dalam catatan Gret masih dianggap kota muda dengan penduduk 70.000 jiwa. Perkebunan karet lah yang membesarkan kota Medan, dengan kata lain kala itu jika orang bicara budaya Medan adalah budaya karet atau kelapa sawit atau tembakau. Hotel-hotel besar Eropa dan klub-klub telah didirikan di Medan. Tak terkecuali Kurt dan Gret ini hidup dalam kemewahan fasilitas yang disediakan pemerintah Hindia Belanda. Gret sampai jengkel, betapa suaminya setiap tahun membeli mobil baru, sehingga ia membuat semboyan sendiri, lebih baik tiap tahun beli mobil baru daripada punya istri baru.
Gret berliburan dengan mobil ke Siantar. Mereka mengagumi keindahan panorama pegunungan di permukiman Batak. Danau Toba dengan air biru membentang menakjubkan. Pagi-pagi orang Batak berbondong-bondong menuju ke pasar. Petani-petani Batak di gunung sangat gigih melawan pemerintah Belanda tanpa batas waktu.
Atraksi Lebaran Para Kuli
Gret mengamati dari dekat berbagai atraksi para kuli dan keluarganya di kampung. Para kuli di perkebunan mendapat hari libur selama 4 hari. Jika dilihat jenis kegiatan lebaran di era penjajahan ini berbeda dengan zaman sekarang. Atraksi yang diadakan para kuli itu adalah lomba kerapan kuda. Kuda mereka kecil-kecil namun gesit. Juara satu mendapat hadiah uang 5 golden. Selain banyak kegiatan menari dan musik, juga ditutup dengan kegiatan sepak bola. Bahkan pada peringatan Maulud Nabi diadakan lomba pencak silat, menyanyi dan menari yang meriah.
Kemeriahan cara para kuli membuat hiburan bersama keluarga mereka itu, Gret menilai sangat indah dan simpati. Gret meyakinkan, bahwa selama ia bergaul dengan para pejabat Belanda dan Eropa di situ, tak ada yang membuat kebahagiaan. Ia tekankan, bahwa keguyuban berkesenian bersama keluarga itu sangat membekas di hatinya.
Apa yang diceritakan oleh Gret tentang berbagai atraksi dalam perayaan lebaran ini yang sangat baru bagi masyarakat kita. Kenapa dianggap baru? Ya, tahu sendiri, sekarang atraksi-atraksi pra kemerdekaan itu sudah tak ada lagi. Sejak Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945, berbagai atraksi dalam menyambut lebaran, bergeser menjadi kegiatan setiap tanggal 17 Agustus, di hari kemerdekaan. Sebab itu orang tak akan melihat lomba sepak bola di waktu lebaran, adanya di peringatan 17 Agustus.
Pada akhir tahun 1922 sampai 1925, dua setengah tahun Gret kembali ke Bern. Tepatnya pada Mei 1924 anak pertama laki-laki lahir bernama Bernhard alias Bernie. Sementara Kurt ada kegiatan di Asia. Ketika Bernie masih berusia 5 bulan, Gret menyusul Kurt dan menjajagi untuk membuka tempat praktik dokter di Bangkok.
Di Bangkok pasangan Bern ini mendapatkan gaji cukup banyak. Selain tentu pergaulannya lebih luas secara internasional. Kalau dibandingkan dengan di hutan Sumatra. Namun keduanya sudah jatuh cinta dengan budaya dan alam di Sumatra. Untuk itu mereka bersikukuh kembali ke Sumatra. Mengingat Bernie masih kecil Gret menemukan babysitter berusia 19 tahun dari Bangkok bernama Ajah. Syukurlah Ajah bersedia diajak tinggal di Sumatra dan dia kerasan. Mereka pertama ke Palembang, kemudian pindah ke Medan.
Jika Bernie lahir di negeri asalnya Swiss, berbeda dengan Gladys. Mungkin Bernie anak pertama, sehingga Gret perlu sangat hati-hati, karena belum punya pengalaman melahirkan anak. Meskipun saat Bernie lahir sempat putus asa, karena ususnya menyangkut di leher si bayi. Gladys dilahirkan di sebuah klinik swasta di Talang Djawa, Palembang. Meskipun dokternya dari Austria, namun fasilitasnya sederhana, tempat kotor dan perawatnya berpakaian tidak bersih, ujung kuku jarinya hitam. Gladys lahir pukul 8 malam pada 8 Desember 1926.
Perempuan-Perempuan Eropa yang Membosankan.
Namun ketika Bernie berusia 2 tahun, Ajah sakit. Gret mencari pembantu dari Jawa. Mereka tinggal di kota Pagaralam. Di rumah barunya ini sempat mengganti pembantu karena tak cocok memasak menu Eropa. Dalam pergaulan dengan orang-orang kulit putih Eropa yang berjumlah sekitar 30 orang, Gret mengamati banyak dari mereka yang membosankan. Ibu-ibu pejabat Belanda itu ternyata rata-rata hanya sebagai ibu rumah tangga. Mereka sedikit saja punya inisiatif sendiri. Bahkan terlalu berlebihan memperlakukan suami mereka. Di rumah ibu-ibu Belanda itu sering menuangkan teh ke cangkir suami mereka. Itu saja bentuk romantis kebersamaannya. Gret sendiri punya kesibukan sendiri, selain menjahit, ia pun aktif bermain tenis. Gret mencatat ada sahabatnya perempuan Belanda, kalau suaminya tugas keluar kota, maka sang istri tidur di rumah dengan menaruh pistol di kamar tidurnya. Pernah suatu saat sahabat dekat Gret pejabat Belanda, istrinya akan berlibur ke Belanda, sedang suaminya yang keturunan Yahudi itu cukup ganteng. Maka sang istri minta Gret untuk mengawasi suaminya. Jawab Gret, bahwa dia lebih suka mengurus satu keranjang kutu daripada suaminya. Gret akui memang suaminya agak play boy, buktinya dia kadang bertamu ke rumah Gret, kalau suami Gret sedang bekerja di rumah sakit.
Potret Gret ini mengejutkan, bahwa sesama orang Eropa lebih mudah mengamati sepak terjangnya daripada kaum bumiputra. Dari pandangan masyarakat Indonesia sementara ini bahwa orang Belanda atau kulit putih Eropa di negeri jajahan Indonesia selalu melakukan hal yang beradab, ternyata membosankan di mata perempuan Swiss.
Berburu Gajah
Ternyata para pejabat kulit putih Eropa itu hobi utamanya berburu binatang langka yang sekarang dilindungi. Pada ulang tahun perkawinan Kurt dan Gret yang ke 5 tahun, mereka melakukan perjalanan panjang bersama temannya Keppler dan tukang kebunnya anak muda Sumatra. Perjalanan itu menempuh jarak 130 km ke pantai di Sumatra Selatan. Kepanjang, sebagai tujuannya, tempat asal tukang kebun itu dilahirkan dan tak pernah mengunjunginya, sejak ia lahir. Dari situ masih naik ke gunung setinggi 1100 meter di atas permukaan air laut. Di gunung itu ditanami kopi yang dimiliki oleh sepasang orang Swiss. Setelah menghabiskan waktu selama 5 jam sampai di gunung, mereka bermain tenis. Dari pertemuan sesama orang Swiss itu diberitahukan bahwa tak jauh dari gunung itu masih ada gajah dan mereka berniat berburu gajah. Bahkan Gret dijanjikan oleh para pemburu itu, jika dapat gajah akan dikasih gadingnya, serta ekor gajah yang berambut itu bisa dipakai untuk menaruh payung. Ini betul-betul gaya hidup imperialis. Hari berikutnya para pemburu ketakutan dan gemetar, karena mereka benar-benar berhasil merobohkan gajah dengan 15 kali tembakan. Tak sampai di situ Kurt sebagai tamu mendapatkan hadiah tropi berburu, dan Gret mendapatkan gading gajah sepanjang 40 cm.
Bahkan pada halaman 92 pada buku ini ditunjukkan sosok Kurt dan temannya berpose di depan seekor gajah yang berhasil ditembak. Tak hanya gajah, Kurt pun pernah menembak anak beruang yang sedang di atas pohon mencari madu. Ia bawa beruang itu pulang sambil waswas, kalau induknya mencari anaknya.
Untuk konteks sekarang di mana manusia diberi kesadaran mencintai ekosistem termasuk alam dan binatang, tentu saja hobi Kurt ini akan dikutuk keras oleh masyarakat Eropa sendiri utamanya. Jangankan berburu gajah, pertarungan matador untuk konsumsi para turis di Spanyol saja ditentang, termasuk adu ayam di Bali dan bermain ikan cobra pakai seruling di India. Ini gajah, ditembak langsung. Ini foto yang paling tidak simpati, di sisi lain Gret sangat berani dengan sangat jujur, nekad memasang foto ini dan bercerita begitu detil. Ia sangat berisiko meruntuhkan nama baik suaminya sendiri.
Upeti Sejak Zaman Kompeni
Ada kasus penyogokan oleh pribumi kepada pegawai Belanda, tak lepas dari pantauan Gret. Ceritanya, ketika ada pertemuan, tiba-tiba seorang pribumi memberi gelang emas kepada anak perempuan pejabat Belanda. Sementara pribumi lain membawakan sekeranjang berisi telur ayam dan beberapa lembaran kertas uang ratusan rupiah. Akhirnya barang sogokan itu dikembalikan ke pemberi oleh pejabat Belanda. Tentu itu menyakitkan bagi pemberi, namun cara memberi upeti sangat tidak bermoral.
Gret sendiri pernah didatangi bekas pasien Kurt dirumah sakit memberi seekor ayam. Pada waktu yang lain datang lagi orang yang sama membawa dua ayam. Tujuan pribumi tua ini minta dibebaskan dari kerja paksa yang dilakukan Belanda. Pemerintah Belanda dengan kejinya menarik pajak dari para petani. Jika petani minta dibebaskan tak bayar pajak setahun, sebagai gantinya mereka harus kerja paksa untuk para pejabat Belanda atau kerja mengurusi jalan.
Haji Zaini adalah salah satu teman dekat Kurt dalam berburu. Zaini ini pernah diundang makan di rumah Kurt. Pada kesempatan yang lain haji ini membantu memperbaiki meja dan memberi gula aren. Ia berbisik kepada Gret, supaya ia bisa bekerja sebagai penjaga di rumah sakit, dimana Kurt bekerja. Gret merasa aneh, baru kali ini ia akan disogok orang.
Lagi-lagi dari buku ini pembaca di tanah air bisa banyak mengetahui, tidak hanya masalah berburu binatang langka, kebakaran hutan, tapi praktik pungli pun sudah mewabah sejak zaman penjajahan.
Kehidupan hutan memang dekat dengan pasangan Swiss dari negeri gunung Alpen ini. Tak hanya binatang. Gret mengamati bagaimana hutan gambut itu terbakar. Ia tulis dengan subjudul Feuertanz (Tarian Api). Diceritakan bahwa pada musim kemarau yang panjang, ada tradisi dari petani setempat membakar hutan. Harapannya agar kelak, tumbuh rumput-rumput baru untuk dimakan ternaknya. Tentu saja pihak pemerintah Hindia Belanda bertindak untuk mencegahnya, sambil memberi denda bagi warga yang dengan sengaja membakar hutan.
Musibah kebakaran hutan ini ternyata berbuntut sampai zaman republik sekarang. Bahkan dampak negatifnya berupa asap juga dialami negara tetangga seperti Malaysia, Singapur dan Malaysia. Tak terhitung kerugian binatang yang terlarang seperti orang utan khususnya.
Meskipun Gret berada di belantara Sumatra, ternyata ia kadang menerima paket berisi koran, majalah dan buku-buku dari Swiss. Ia awalnya sudah membaca Rousseau, Grillparzer, Renan, Shaw, Maugham dan Keyserling.
Pada perayaan natal ada pula samiklaus untuk anak-anak kecil dari keluarga orang Eropa, pribumi dan blasteran, termasuk Bernie. Siapa samiklaus ini? Ternyata pribumi muda yang bekerja sebagai tukang tanam di perkebunan yang menjadi samiklaus. Bahkan Gret mempraktikkan kegiatan teater dari Jules Romain. Dari pengamatan Gret yang sensitif itu, ia menyimpulkan bahwa keluarga orang Belanda di Hindia Belanda itu tidak begitu mengubris perayaan natal dan tahun baru. Mereka lebih menyukai pertumbuhan anak-anak, bukan seremonial religius. Keluarga bagi mereka itu penting, tak ayal gadis-gadis Belanda banyak yang dinikahi oleh para pegawai muda.
Di tengah kehidupan yang mewah di negeri jajahan, ada sebuah insiden di tempat tinggalnya. Seorang kuli muda menusuk seorang asisten Belanda. Asisten itu lari ke kantornya dan mengambil pistol serta menyuruh pegawainya bernama Coulin menembak si kuli muda. Coulin berhasil menghardik dengan pistolnya, agar si kuli muda menyerahkan pisaunya. Tak disangka, kuli muda ini dengan cekatan mencoba menusuk Coulin, namun keburu kuli muda itu ditembak dan mati terkapar.
Jalan Darat ke Solo – Borobudur –Bromo
Kurt dan Gret serta anaknya berlibur yang kedua kalinya ke Jawa. Ini kesempatan terakhir yang tak disia-siakan. Sementara kedua anaknya Bernie dan Gladys ikut, walau tanpa babysitter Ajah. Karena Ajah pulang ke Bangkok dengan alasan, bahwa momongannya tingginya sudah melebihi tinggi yang momong, maka tak perlu bantuan lagi.
Pada pertengahan Juli 1932 mereka menuju Merak dan melanjutkan ke Batavia (Jakarta), Buitenzoug (Bogor), ke Borobudur. Di Magelang mereka saksikan kebesaran gunung Merapi yang meletus tahun 1930. Di Borobudur mereka takjub dengan susunan batu yang megah penuh misteri itu. Stupa ke stupa mereka susuri dan nikmati. Dari Borobudur mereka mampir ke candi Mendut. Dilanjutkan ke candi Prambanan. Kemudian ke Solo. Di Solo mereka menyaksikan wayang kulit dan wayang orang. Mereka sangat terkesan dengan keharmonisan sehari-hari orang Jawa. Terakhir mereka naik kuda sampai di kawah gunung Bromo.
Setelah 3 minggu perjalanan keliling Jawa, mereka kembali ke Sumatra dan kali ini tanpa Ajah lagi. Gret sempat mencatat, ketika foto Sukarno dia potong dan simpan. Gret sangat simpati dengan Sukarno yang menjadi musuh pemerintah Belanda. Tak sampai di situ, ketika pada 28 Juni 1956 Sukarno berkunjung ke Bern, Gret berkenalan secara langsung pada acara penyambutan.
JAWA : 1933 - 1943
Sanatorium Solsana di Bandung
Kurt dan Gret kembali ke Pagaralam untuk undur diri dari rumah sakit para kuli dan menuju ke Bandung untuk sebuah rencana mendirikan sebuah sanatorium bernama Solsana. Lokasi yang akan dipakai di perbukitan Lembang ketinggian 850 meter di atas permukaan laut dengan luas sekitar 20 hektar,
Dengan berjalannya sang waktu, Solsana siap diresmikan. Karangan bunga banyak menghiasi tempat upacara. Nama Solsana semakin moncer, terutama di kalangan elit orang-orang Eropa. Bahkan putri raja dari Thailand pun sempat berada di Solsana. Solsana adalah tempat istirahat berpadu dengan merawat kesehatan orang kaya. Berbagai fasilitas dipersiapkan dengan sangat baik dan ditangani orang yang profesional.
Kurt dan Gret sudah lama ingin melakukan perjalanan ke pulau dewa dan buta kala, Bali. Lewat jalan darat dengan mobil ke Semarang, Surabaya, Malang menyeberang ke Gilimanuk. Gret gambarkan selat Bali kala itu hanya ada perahu, maka mobil Gret pun harus naik perahu dengan perjalanan yang tidak nyaman. Pertama Gret menatap orang Bali, ia berkesan, lebih matang ketimbang orang Jawa,
Sesampai mereka di Denpasar, segera diundang ke rumah Houbolt, seorang wartawan dan seniman yang pernah bertemu Gret dalam pameran kesenian Bali di Bandung 3 tahun sebelumnya. Mereka mengunjungi kerajinan patung di desa Mas. Tak lupa tarian Ketjak membuat mereka takjub. Namun Gret membandingkan kegiatan pasar di Bali dan di Jawa begitu beda. Di beberapa tempat di Jawa, pasarnya sangat ramai sejak subuh remang kuda sudah memuat sayuran dan buah-buahan untuk dibawa ke pasar. Sedang pasar di Klungkung lebih didominasi pakaian yang mencolok.
Pada tarian Legong berkain prada, Gret mendengarkan alunan gamelan yang ia anggap mirip dengan gamelan Jawa. Para penari perempuan Djanger tampak tak memakai kutang. Gret mencatat bahwa atraksi itu merupakan kegemaran turis paling utama. Bentuk payudara cokelat besar memanjang, simbol eksotika Bali kala itu. Menurut Gret, sekitar 50 tahun sebelumnya gadis-gadis di Jawa dan Thailand juga sama, topless tanpa BH.
Kurt dan Gret melanjutkan perjalanan menemui pelukis muda asal Basel bernama Theo Meier. “Grüetzi,“ salam khas Swiss itu dilontarkan oleh dua pemuda Bali yang ganteng di rumah Theo Meier. Theo Meier tampak antusias bertemu sesama warga Helvetia ini, sehingga para tamunya sampai lupa dipersilakan duduk. Mereka langsung berbahasa Schweizedutsch sambil berdiri. Pelukis asal Basel itu juga bercerita tentang para pelukis asing yang tinggal di Bali.
Theo Meier sampai kini memang menjadi deret pelukis asing legendaris dalam sejarah seni rupa Bali. Nama dia sederet dengan Walter Spies dari Jerman, Arie Smith dari Belanda, Antonio Blanco dari Spanyol, dan Miguel Covarrubias dari Meksiko.
Belakangan pada tahun 1967, Gret sempat mengunjungi sebuah pesta di kedutaan besar Indonesia di Bern, kebetulan bertemu Theo Meier lagi. Saat itu Theo Meier bilang kepada Gret, bahwa dulu saat di Bali suaminya disuruh mengecek gadis Bali, pacar Theo Meier, Dan gadis Bali itu dinyatakan hamil. Setelah lahir anak perempuan, si anak perempuan itu mengirim surat dan foto kepada Theo Meier, apakah kamu akan menikahi ibuku? Foto anak Theo Meier itu dilihat Gret..
Gret berhitung apakah kelak akan tinggal di Bali dekat pantai atau gunung? Ia tak mungkin bisa membayangkannya. Bahkan bisa dipahami perjalanan yang hampir 25 tahun itu, ia putus asa untuk melanjutkan menulis catatan harian. Ah, Bali hanya impian surgawi saja, ia memilih kembali mengurus sanatorium Solsana di Bandung. Apalagi akhir-akhir ini ia cukup kerepotan dengan ide-ide Nobili, orang Italia yang lebih tertarik budaya lokal Sunda, seperti Gret sendiri, Nobili mengajukan usul agar di Solsana ditambah kegiatan memanah dan menombak dari bahan bambu, seperti yang dipakai orang Sunda. Nobili yakin, atraksi tambahan ini bisa menarik minat para penghuni sanatorium.
Wali kota Bandung juga memberitahu Gret, bahwa akan menyewa kamarnya untuk seorang pemain piano Eropa terkenal bernama Hubermann. Hubermann juga seorang intelektual yang diperhitungkan di Jerman. Ia sering dimuat di koran Amerika. Suatu hari Hubermann dengan sekretarisnya ke bandara diantar Kurt dan Gret. Namun naas, karena mesin pesawat rusak, sehingga pesawat tak mampu terbang tinggi, akibatnya menabrak pepohonan dan jatuh. Hubermann cidera, tulang iganya patah dan kembali ke Solsana lagi.
Gret mendapat surat dari Marianny, saudara perempuannya di Swiss, ia memberitahu usai kawin dengan lelaki Yahudi dan segera pergi ke Kanada, karena di Eropa tidak aman.
Perlahan terjadi krisis ekonomi dan Solsana juga mengalami masalah keuangan. Tak ada kekuatan untuk melanjutkan lagi. Pada akhirnya Solsana hasil idealisme dokter tropis Kurt dan istrinya Gret, dinyatakan ditutup.
PERANG: 1941 – 1945
Gret selalu mengikuti perkembangan politik dunia. Misalnya ia catat pada Kamis pagi dunia bergoncang, sebab pada 8 Desember 1941 waktu Indonesia, (di USA 7 Desember) Pearl Harbour diserang Jepang dan dalam waktu 30 menit sudah menelan 2500 korban jiwa. Ada 12 kapal perang USA tenggelam, 5 kapal lainnya rusak parah. Ada 170 pesawat terbang hancur. Dan 28 pesawat terbang Jepang hilang.
Surat Gret kepada Bernie di Australia mengawali perpindahan orang tuanya dari Sumatra ke Jawa. Isi surat itu menyebutkan, bahwa ulang tahun Bernie yang ke 15 dalam suasana perang. Dan menyarankan kepada Bernie agar tetap tinggal di Australia saja.
Keluarga Kurt meninggalkan pulau Samosir pada 1 Januari 1942. Jepang datang ngebom bandara Pekan Baru. Sedianya Gladys akan dikirim untuk sekolah di Bandung, namun dibatalkan karena suasana tak memungkinkan.
Kebrutalan Jepang
Wie wilde Tiere, Gret menggambarkan kisah paling buruk dalam hidup keluarganya di Sumatra. Malam hari datang 3 tentara Jepang, setelah mereka makan pisang di ruang tamu, mereka memaksa kedua orang tua kembali ke kamarnya dan Gladys yang belum genap berusia 15 tahun diperkosa serdadu Jepang. Sejak itu mereka tidak berani tidur di rumah, melainkan mengungsi ke rumah sakit, tempat Kurt bekerja,
Tentara Jepang mengontrol rumah-rumah warga Hindia Belanda, Tak terkecuali rumah keluarga Kurt, bahkan sehari bisa 7 kali didatangi Jepang. Suatu kali 2 orang Jepang merangsek rumah Kurt dan mengambil sabun. Dengan emosi tinggi Gret mengumpat dengan bahasa Schwizedutsch dialeks Bern, “Ja bruuchet nume di Seife, damit dr nid so böchelet!“ (Ambil saja, aku tak perlu lagi, biar kamu tidak bau)
Merasa tak mau ada peristiwa yang tak diinginkan, maka mereka buru-buru menaikkan bendera Swiss di depan rumah. Mereka mengatakan kepada Jepang, Swiss, Swiss, No Dutch, No English. Hospital, doctor. Dengan kata lain mereka ingin meyakinkan, bahwa Swiss dikenal sebagai negeri netral dalam berpolitik. Sampai di sini pembaca akan dihadapkan pada sikap mendua keluarga Kurt ini. Satu sisi mereka menganggap harus netral, maka bendera dikeluarkan, jika terdesak, namun ketika aman mereka menikmati bekerja pada rumah sakit milik pemerintah Hindia Belanda yang menjajah Indonesia. Lalu di mana letak netralitas humanis yang sesungguhnya?
Meskipun Jepang sangat melukai hati keluarga Gret, namun perlahan-lahan rasa benci itu berubah menjadi asmara. Mino, pegawai Jepang di bagian administrasi menaruh hati dengan Gladys, pun Gladys membalas cintanya. Meskipun pada akhirnya masing-masing punya jalan sendiri, namun ketika Gladys sudah pulang ke Swiss ia sempat mengunjungi Nimo ke Jepang. Sebelum ke Jepang Gladys sempat mampir ke Belanda untuk mengecek daftar orang tahanan perang, apakah Nimo termasuk, ternyata tidak.
Orang Swiss di Sumatra masih ada beberapa lagi, tak terkecuali saudara perempuan Gret, yakni Lydia dan Hedis. Namun tampaknya Gret sering salah paham dengan saudara sekandungnya itu. Misal, tentang Nimo si pacar Gladys, bisa diterima oleh keluarga Kurt, tapi tidak oleh Lydia dan Hedis.
Memang Belanda merekrut banyak serdadu dari negara-negara Eropa lain, tak terelakkan dari Swiss. Pada buku ini disebutkan bahwa para pekerja Swiss di Semarang melakukan demonstrasi memprotes kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Gret mengamati dalam perjalanan mereka ke Jawa, bahwa banyak protes dari orang Eropa kepada pemerintah Hindia Belanda, sedang para pribumi hidup dalam kemelaratan.
Semarang memang rawan di era kolonialis Belanda. Di situlah Semaun, pentolan komunis yang mendapat sokongan dari ketua buruh Belanda, Henk Sneevliet mengekspor spirit revolusioner Lenin dari revolusi Boljewiks di St. Petersburg tahun 1917. Wajar jika di Semarang sering bergolak.
Ke Australia dan Swiss
Pada akhirnya Kurt, Gret dan Gladys menuju ke Singapur dan melanjutkan perjalanan pengungsian mereka ke Australia. Sedianya Kurt akan membayar tiket kapal, namun ternyata pihak kapal sudah mengenal nama Kurt, sebab itu hanya ada 2 pilihan, naik kapal gratis atau tidak ikut sama sekali. Mereka naik kapal dengan gratis ke Australia. Betapa kaget Gret ternyata bertemu beberapa orang Eropa yang pernah dilihatnya di Sumatra.
Ketika Indonesia mengumumkan kemerdekaan, mereka mengungsi ke Australia. Kurt pulang duluan ke Swiss dan istri serta 2 anaknya masih berada di Australia. Kurt mengalami traumatik atas kekejaman perang di Indonesia. Pada usianya yang ke 60 tahun, ia bunuh diri dengan cara melompat di bebatuan Inseltwald, danau Brienzersee
Ternnyata Kurt menulis puisi dalam bahasa Prancis sebelum bunuh diri. Puisi itu terselip pada buku yang ia baca. Puisi itu dalam terjemahan bebas seperti ini:
bertindak sesuai dengan alasan
artinya berkata untuk penyelesaian
tanpa ada drama atau kejutan
untuk menyelesaikannya secara wajar
diam-diam, dan
untuk pergi dengan bebas.
Gret Surbek mencatat semua peristiwa hidupnya selama 25 tahun di era penjajahan di Indonesia dan buku hariannya berhasil diselamatkan sampai ke Swiss.
Pada usianya yang ke 50 tahun ia mengumpulkan banyak bahan tulisan. Pekerjaan menyusun ulang catatan hariannya itu memerlukan waktu 24 tahun, Pada tahun 1974 ia merasa tulisannya sudah selesai.
Begitu lamanya penyusunan catatan harian itu, karena ia menggabungkan catatan harian dari suaminya serta sumber-sumber lain. Kadang ia membongkar surat-surat dan meneliti kembali kalimat demi kalimat secara tepat.
Buku harian dalam 17 bundel yang dibungkus kartun biru itu ditulis di dua tempat, yakni di rumah liburan Brienzersee dan tempat tinggal Gret tahun 1950 – 1974 di Chutzenstrasse, Bern.
Pada buku harian ini Gret menuliskan beberapa kalimat atau istilah dalam bahasa Prancis, Indonesia, Inggris, Jepang dan Belanda. Gret juga belajar bahasa daerah, Batak dan Sunda. Gret menuliskan nama kota dan istilah-istilah bahasa Indonesia dengan sangat sempurna dan sampai kini masih aktual, kecuali ejaan lamanya.
Beruntunglah sekarang Gladys masih hidup berusia sekitar 87 tahun. Ia lah yang memberikan kesaksian atas peristiwa demi peristiwa yang ditulis ibunya. Kebrutalan tentara Jepang, kerakusan dan kekejaman Belanda mengoyak sanubari.
Pada tahun 2007 dibuatlah film dokumenter beserta team film menapaki jejak lama keluarga Swiss ini ke Sumatra dan Bandung dan Gladys ikut serta.
0o0
(Sigit Susanto) Zug: 10.10.2019
1 Komentar
Kisah yang luar biasa. Saya pun nonton kisahnya di youtube. Kapan ya biasa ada buku terjemahannya di Indonesia
BalasHapus