Christian Hutahaean***
It’s delightful to be a woman, but every man thanks the Lord that he isn’t one. Barisan kata ini saya temukan tanpa sengaja di cover belakang sebuah novel berjudul The Story of An African Farm. Kata-kata itu sejak semula tentu sudah menimbulkan dugaan, bahwa novel yang belum sempat saya baca itu pastilah sebuah novel yang sarat akan nilai-nilai feminisme.
Benar saja. Melalui deskripsi singkat dari Wikipedia, saya mendapati novel ini merupakan karya seorang penulis perempuan kulit putih Afrika Selatan. Olive Emily Albertina Schreiner nama perempuan itu. Dan novel yang ia tulis tersebut memang adalah salah satu novel feminis paling awal dalam sejarah kesusasteraan. Selain seorang penulis, putri dari pasangan Misionaris Inggris ini juga merupakan aktivis hak sipil dan hak perempuan di Afrika Selatan.
Sebagaimana perempuan-perempuan aktivis kebanyakan di masa-masa krusial menjelang abad 19, tentu banyak hal menarik yang bisa diulik dari kehidupan Olive. Tapi saya sudahi di sini saja. Silakan mencari referensi lain sekiranya Bung dan Nona hendak mengenal lebih jauh Olive Schreiner beserta karya-karyanya.
Kembali lagi ke kalimat di sampul belakang novel Schreiner. Kalimat tersebut seketika membangkitkan ingatan saya akan pemahaman masyarakat Indonesia kebanyakan terhadap posisi perempuan dalam masyarakat. Barangkali, tanpa saya jelaskan lebih jauh, kita sudah sama-sama tahu pemahaman seperti apa yang saya maksudkan. Ya, perempuan adalah makhluk yang dicipta hanya untuk urusan Dapur-Sumur-Kasur. Atau dalam falsafah Jawa, perempuan yang ideal itu adalah yang bisa Masak, Macak, Manak (Memasak, Berdandan, Berketurunan). Dan semua ini sejak lama telah dipahami sebagai sesuatu yang terberi (given). Atau dengan sebutan lain, sudah kodrat alam.
Sampai di sini, tampak tidak ada masalah dengan kodrat perempuan itu. namun, kala kita tilik lagi, kodrat perempuan yang hanya masak, dandan, dan beranak-pinak itu ternyata diikuti pula dengan kodrat perempuan yang tidak boleh memimpin, tidak boleh bebas berekspresi dan bereksplorasi di tengah masyarakat, tidak boleh mengambil keputusan, tidak boleh ini, tidak boleh itu. Sekalinya boleh, sulit maju karena terhalang keadaan-keadaan yang diyakini sebagai kodratnya tadi. Dapur-Sumur-Kasur. Secara garis besar, hal inilah menurut saya yang menjadi kerikil tajam dalam wacana kesetaraan gender di Indonesia.
Emansipasi
Memang Indonesia mengenal R. A. Kartini yang menjadi tokoh paling ikonik dalam perjuangan perempuan di awal abad 20 di Indonesia (Hindia Belanda pada masanya). Namun, harus diketahui, Kartini seyogyanya barulah turning point. Toh, dia tak berdaya menepis stigma, hingga harus dijodohkan bapaknya dengan laki-laki yang sudah kawin beberapa kali sebelum meminang Kartini. Tapi, paling tidak Kartini sudah menghidupkan diskursus kesetaraan melalui korespondensi dengan kawan-kawannya di Eropa.
Seabad sesudahnya, Kartini masih menjadi tokoh sentral emansipasi wanita. Namanya diagungkan, diabadikan, dan bahkan 21 April yang adalah tanggal kelahirannya diperingati sebagai Hari Kartini setiap tahunnya. Satu hari yang dijadikan sebagai cermin pencapaian perempuan. Sudahkah setara, atau bahkan melampaui laki-laki? Banyak orang berupaya menjawab pertanyaan ini. Bagi saya, tidak ada jawabannya, karena pertanyaannya keliru. Berikut alasannya.
Pertama, keliru karena menjadikan laki-laki sebagai standar pencapaian. Paradigma semacam ini dengan sendirinya belum menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai manusia yang setara. Seakan-akan perempuan baru bisa menjadi perempuan seutuhnya kalau sudah mampu mencapai apa yang dapat dicapai laki-laki, serta dapat mengerjakan apa yang biasa dikerjakan oleh laki-laki.
Kedua, keliru karena menjadikan kesetaraan dengan laki-laki sebagai orientasi. Maksud saya, emansipasi pada hakekatnya tidak semata-mata bertujuan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki, melainkan memberikan kepada perempuan kesempatan yang sama sebagaimana dimiliki laki-laki. Dengan demikian, kala perempuan telah memiliki kesempatan itu, maka ia bisa bebas mengekspresikan diri sebagai perempuan seutuhnya. Bukan untuk sekadar membuktikan kalau perempuan bisa mengerjakan apa yang laki-laki bisa kerjakan.
Ketiga, keliru karena mendikte perempuan. Alasan ketiga ini sebenarnya masih bersinggungan dengan alasan pertama dan kedua. Paradigma emansipasi wanita tanpa disadari seringkali malah mendikte perempuan terkait apa yang harus dilakukannya sebagai perempuan. Alhasil, perempuan justru dikekang oleh wacana emansipasi tersebut.
Corak perjuangan perempuan
Kekeliruan paradigma sebagaimana saya sampaikan di atas turut mempengaruhi corak perjuangan perempuan di Indonesia. Alih-alih berbasis kebebasan, perjuangan perempuan justru lebih dititikberatkan pada “penegasan”. Artinya, perempuan seakan-akan punya beban untuk membuktikan dan menegaskan bahwa mereka telah meraih kebebasannya dan bisa berkarya selayaknya laki-laki.
Paradigma semacam ini lagi-lagi justru memosisikan perempuan di bawah laki-laki, sehingga perempuan perlu melakukan hal-hal tertentu yang didikte pada mereka agar dapat diakui setara dengan laki-laki.
Perjuangan perempuan bukanlah perjuangan yang bersifat individualistis dan sekadar untuk menyamai capaian laki-laki. Perjuangan perempuan adalah perjuangan kolektif agar perempuan diberikan kesempatan untuk mengaktualisasikan diri sebebas mungkin. Lalu, siapa yang harus memberikan kesempatan itu?
Jawabnya ialah negara (pemerintah) dan masyarakat. Pemerintah harus memberikan akses bagi perempuan untuk bisa mengembangkan diri. Kebijakan yang diambil oleh pemerintah juga tidak boleh diskriminatif terhadap perempuan, melainkan harus mengakomodir hak dan kepentingan perempuan. Jadi, kebijakan yang saya maksud, ramah terhadap perempuan bukan karena perempuan dipandang lemah, tapi karena perempuan memang memiliki hak-hak yang harus dihormati, dilindungi, dan dipenuhi oleh negara.
Begitu juga dengan masyarakat yang masih kerap memandang perempuan yang berjuang demi kebebasannya sebagai bentuk pembangkangan pada kodrat alam. Padahal, kodrat perempuan yang dipercaya banyak masyarakat tidak lebih dari sekadar kebiasaan-kebiasaan yang telah berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama. Tidak seharusnya menjadi justifikasi atas kebiasaan yang menindas perempuan.
Sebagai penutup, saya akan katakan bahwa emansipasi wanita yang dulu diperjuangkan oleh Kartini melalui sikap dan tindakannya, bukan perjuangan untuk menyamai atau mengungguli laki-laki, melainkan untuk meraih kebebasan aktualisasi diri sebagai perempuan. Perempuan dibebaskan bukan karena ia perempuan. Perempuan dibebaskan karena ia manusia. Manusia merdeka. Selamat memperingati Hari Kartini tahun 2020!
*** Penulis Lepas.
0 Komentar