* Jainal Pangaribuan
Sekarang, tidak ada lagi yang perlu ditutup akan rapuhnya pengelolaan negara kita selama ini. Para dokter terkapar dan meninggal (22 orang), tenaga medis dan paramedis lain pun lumayan korban. Tata kelola rumah sakit selama ini seperti kelola pasar Inpres, belum lagi BUMN Farmasi dan Alkes yang selalu berbasis profit. APD dan Vit C aja kita sempoyongan, entah apa yang dikerjakan oleh BUMN itu selama ini.
Belum lagi stok ketersediaan pangan, khususnya di daerah pandemi merah seperti Jakarta, Bekasi, Bogor dan Tangerang. Boleh saja dikatakan stok ada 6 bulan ke depan, untuk beras mungkin ya, tapi apa rakyat yang stay at home hanya dikasih beras? Pangan kita sangat rawan, dan inilah persoalan utama kita sekarang.
Namun, jangan buru buru menghakimi pemerintah, situasi ini adalah dampak globalisasi, seperti Covid 19.... datangnya dari luar Indonesia (mungkin dari Tiongkok). Indonesia sudah cukup lama teraniaya oleh globalisasi, hanya pelaku penganiaya itu ya para warnanegara yang jadi comprador, sekutu dalam negeri korporasi global. Para comprador ini bisa jadi menduduki jabatan strategis di bangsa ini.
Bagaimana mereka (Global) menganiaya?
Contoh nyata lihatlah petani Jagung, benihnya diimpor, pupuknya juga impor (patennya), herbisidanya juga sama walau pake nama lokal. Semua tergantung pada luar, harga jual jagung? sesuai selera tengkulak juga. Saat pandemi sekarang, harga sarana produksi jagung pun merangkak naik, petani hanya diam membisu dan meneteskan air mata.
Padahal, kita sudah lama teriak ketahanan pangan, substansinya sangat bias. Bukan hanya produksi yang diukur, tapi juga kemampuan pengadaan sarana produksi. Artinya dalam situasi perang global atau pandemi global, kita harus mampu tahan dalam pangan, itulah ketahanan pangan. Boleh aja kita teriak beras kita cukup, tapi coba didalami sarana produksinya. Kenapa demikian? karena sudut pandang cost and profit base, masih lebih untung impor cangkul dari China daripada produksi di Sitampurung katanya. Dalam berbagai sarana lain juga demikian, simpulnya pangan kita rawan, penyebabnya globalisasi dan comprador.
Dalam bidang kesehatan juga demikian, BUMN Farmasi selalu dituntut profit, akhirnya bahan baku Vit C pun diimpor. Sekarang? bahan baku susah dan Vit C pun langka, masa sebutir Vit C 1000 mg Rp 10 ribu? alkohol pun ratusan ribu per liter. Apalagi soal masker dan APD
Masuk lagi ke soal BPOM si pengawas obat yang sok itu abothyl obat mulut anjing aja bisa beredar lama di Indonesia, kalau ga diteriaki kaga ditarik dari pasar, karena dipakai rakyat jadi obat sariawan, diresep dokter pula.
Apakah selama ini kita diamkan? sebenarnya tidak tapi elemen kekuasaan banyak dikuasi sekutu comprador, para maling dan merasa negara ini milik nenekmoyangnya. Soal cangkul masih diimpor, sudah kuteriakkan diberbagai media agar distop, syukur skrg impornya udah diam diam. Soal abothyl itu bisa bikin Cancer juga saya teriakkan tahun 2016, syukurlah udah distop peredarannya. Rapuh dan sungguh sangat rapuh tata kelola negara kita ini karena ulah comprador.
Akhirnya konsep ketahanan pangan, ketahanan energi dan laen-laen haruslah dibumikan sekaligus melawan arus mainstream globalisasi. Itulah gerakan menanam 10 Juta Pohon bagot di kawasan danau Toba. Apakah itu bisa direalisasikan? Saya masih percaya adanya Tuhan, jika Tuhan berkehendak jadi... maka jadilah, Amen.
Salam pagi dengan matahari, semoga badai Covid 19 cepat berlalu asa boi hita hatop masilesengan. Turut berduka utk keluarga yang anggota keluarnya meninggal khususnya karena Covid 19.
0 Komentar