Membaca adalah jendela dunia, dan kegiatan membaca merupakan suatu cara untuk mengetahui lebih luas tentang duna. Ini adalah salah satu peribahasa yang sering disampaikan oleh guru maupun orang yang lebih tua kepada kita sejak kecil. Namun peribahasa ini sepertinya hanya berhenti pada kata-kata biasa. Tidak ada kelanjutan pada praktek yang nyata.
Indonesia adalah Negara yang begitu kaya akan budaya. Keanekaragaman budaya ini adalah sebuah identitas penting bagi sebuah bangsa. Namun, dari beragam budaya itu, sepertinya budaya membaca belum terhitung masuk diantaranya.
Bagaimana tidak, hasil survei Program for International Student Assessment (PISA) 2018 menempatkan Indonesia berada pada peringkat 74 dari 79 negara untuk kategori Sains, Matematika dan Membaca. Mirisnya, skor terendah yang diperoleh Indonesia terdapat pada kategori membaca, yaitu sebesar 371 (rata-rata OECD 489). Terdapat trek penurunan pada hasil survei 2018 dengan hasil survey 2015 lalu, yaitu 397 pada kategori membaca.
Perlu diketahui bahwa PISA merupakan program tiga tahunan sekali yang dilakukan oleh OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) yang berfokus pada pengukuran kompetensi belajar peserta didik secara global. Survei PISA ini meneliti remaja 15 tahun dari Negara-negara yang tergabung dengan OECD untuk mengukur kemampuan belajar dalam kategor Sains, Matematika, dan Membaca lewat serangkaian tes.
Tidak hanya PISA, beberapa riset lain juga telah meneliti kemampuan membaca di Indonesia, dilansir dari website Kominfo, UNESCO menyebutkan bahwa Indonesia berada di urutan kedua dari bawah, artinya minat baca begitu rendah. Menurut data UNESCO pada tahun 2016, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya 0,0001%. Artinya, dapat dikatakan bahwa dari 1,000 orang di Indonesia, Cuma 1 orang saja yang rajin membaca.
Data-data ini sangat memprihatinkan. Masyarakat Indonesia agaknya tidak suka berliterasi (membaca dan menulis) namun lebih suka untuk mendengar dan berbicara saja. Ini menyebabkan masyarakat menjadi cerewet di dunia daring dan laring namun malas untuk membaca.
Di era digitalisasi hari ini, dimana tsunami informasi tidak dapat dihindari lagi di kalangan masyarakat. Terdapat beragam informasi yang dapat diakses dengan mudah, namun diantara informasi tersebut juga terdapat informasi-informasi yang tidak teruji kebenarannya, yakni hoax. Dengan maraknya Hoax, masyarakat diharapkan mampu memfilter informasi-informasi tersebut agar tidak tertipu maupun terprovokasi. Namun, dengan rendahnya minat baca sesuai dengan data-data tersebut agaknya masyarakat masih sering terjerat akan hoax.
Persoalan rendahnya minat baca di Indonesia sebenarnya juga telah menajdi perhatian banyak elemen di dalam negeri. Salah satunya adalah IKAPI (Ikatan penerbit Indonesia) yang mensinyalir bahwa perkembangan teknlogi digital seperti media social ternyata salah satu penyebab turunnya minat baca masyarakat Indonesia. Waktu yang tersedia untuk membaca buku kini diganti dengan mengikuti apa yang sedang tren di sosial media. Nah, fenomena konsumsi media social ini menyebabkan masyarakat menghabiskan banyak waktu untuk mengaskes hal-hal yang tidak tuntas dan mendalam. Kerena tidak tuntas dan mendalam, banyak orang menjadi konsumend dari informasi-informasi Hoax.
Hal ini terbukti dengan data yang diperoleh Lembaga riset digital marketing Emarketer memperkirakan bahwa pada 2018 jumlah pengguna aktif smartphone di Indonesia lebih dari 100 juta orang. Dengan jumlah sebesar itu, Indonesia akan menjadi Negara dengan pengguna aktif Smartphone terbesar keempat di dunia setelah Cina, India, dan Amerika.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh stakeholder pendidikan hingga pegiat Literasi di Indonesia. Perpusnas (Badan Perpustakaan Nasional) yang bekerja sama dengan Aksaramaya telah meluncurkan aplikasi iPusnas. iPusnas sendiri adalah aplikasi perpustakaan digital (ePustaka). Terdapat ribuan buku disana dari berbagai kategori seperti fiksi, non-fiksi, buku pelajaran, agama, social-budaya, bahasa, dan banyak lagi. Kita hanya perlu mendownload aplikasinya dan mendaftar.
Pegiat literasi pun ikut prihatin dengan minat baca yang lemah di Indonesia, salah satu yang terpanggil, yakni Togu Simorangkir. Sosok ini telah mendirikan banyak sopo belajar dan kapal belajar di ratusan desa di seputaran Danau Toba yang sangat sulit dijangkau melalui jalur darat. Yayasan Alusi Tao Toba yang didirikan oleh Togu melihat bahwa rendahnya minat baca bukan semata-mata karena kebiasaan membaca yang rendah, tetapi juga karena terbatasnya bahan-bahan bacaan beupa buku. Togu dan Yayasan Alusi Tao Toba telah konsisten memilihara minat baca dan belajar anak-anak disekitaran danau toba sejak 2010.
Ada beberapa hal yang dapat kita lakukan untuk menjadikan membaca sebagai budaya kita, yakni membiasakan diri untuk membaca. Kebiasaan membaca yang dilakukan secara berkelanjutan akan menjadi sebuah budaya. Kebiasaan-kebiasaan untuk membaca ini juga bisa kita sebarkan ke anak-anak sejak dini ataupun masyarakat sekitar agar terbiasa untuk memabaca. Kita bisa memulai dengan membaca buku apapun yang dapat menambah pengetahuan kita tentang luasnya dunia ini. Buku bisa kita dapatkan dan baca melalui perpusatakaan yang ada di setiap kota, membeli buku secara online atau bahkan membacanya secara daring. Tidak ada alas an lagi untuk tidak membaca dan memperoleh segudang manfaat darinya.
Penulis: Agi Julianto Martuah Purba
Seorang mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pengetahuan (FKIP) Universitas HKBP Nommensen
0 Komentar