Medanbisnisdaily.com-Medan. Di Kota Medan ini banyak kita temukan tempat-tempat nongkrong. Hal itu dapat kita lihat di berbagai titik dan ruas jalan. Ada yang menjajakan aneka makanan, tetapi ada juga yang sekadar menyajikan kopi.
Namun, tidak banyak tempat nongkrong yang memadukan unsur kuliner dengan edukasi di dalamnya. Salah satunya adalah Literacy Coffee. Tempat nongkrong anak-anak muda dan mahasiswa ini berada di Jalan Jati II, tepat di belakang Kampus ITM Medan.
Selain tempat nongkrong dengan kopi sebagai menu utama, di tempat ini juga tersedia perpustakaan dengan buku-buku yang menarik. Buku-buku itu pun beraneka ragam. Dari buku sejarah, budaya, sastra dan juga politik. Termasuk juga majalah-majalah yang terbit dalam kurun waktu 1970-sekarang. Selain itu di perpustakaan itu juga tersimpan sejumlah arsip berupa hasil penelitian mahasiswa.
Jhon Fawer Siahaan, salah seorang pendiri dan pengelola Literacy Coffee menjelaskan, tempat nongkrong itu didirikan untuk memenuhi kebutuhan para anak-anak muda, terutama mahasiswa akan sebuah tempat ngopi yang sarat edukasi.
“Literacy Coffee hadir dengan semangat penguatan literasi mengingat minimnya minat baca di Indonesia. Jadi orang bisa ngopi sambil membaca,” kata alumni sejarah Unimed ini kepada medanbisnisdaily.com, Minggu (10/9/2017).
Lebih lanjut, Jhon Fawer menjelaskan, Literacy Cofee ini memiliki konsep no tv, no wifi. Hal ini berbeda dengan tempat nongkrong sejenisnya yang mengandalkan wi fi selain kopi.
Literacy Coffee memang baru dibuka. Baru dilaunching bulan September ini. Tetapi persiapannya sudah cukup lama. Termasuk proses mengumpulkan buku dan memilah-milahnya. Meski menyasar kelompok mahasiswa, tempat nongkrong ini tidak berminat menyediakan tv dan wi fi. Diakui Jhon Fawer ada alasan untuk itu.
“Kita sengaja tidak menyediakan tv dan wi fi. Supaya orang yang datang kemari fokus untuk membaca sambil minum kopi. Dan memang andalan kita adalah diskusi. Kalau ada wi fi, pengunjung jadinya akan sibuk sendiri dengan gadgetnya. Padahal kita berharap para pengunjung yang datang bebas berdiskusi dengan sesama pengunjung dan bahkan dengan pengelola,” katanya.
Dijelaskannya lebih lanjut, untuk menunjang budaya diskusi kita sudah mulai kegiatan bedah buku setiap hari Rabu. Debut pertama sudah kita mulai pada 6 September 2017 lalu. Buku yang dibedah adalah buku “Genealogi Kapitalisme”. Diskusi itu tidak hanya dihadiri mahasiswa, tetapi juga berbagai kalangan. Antara lain pelaku gerakan sosial, praktisi hukum, dosen dan juga masyarakat di sekitar itu.
“Untuk selanjutnya kami akan membedah buku ‘Merahnya Merah’ karya Iwan Simatupang dan ‘Perpustakaan Kelamin’ untuk Rabu berikutnya. Kelak ke depan kita juga akan akan mengadakan diskusi-diskusi umum dan malam sastra,” pungkasnya.
Ditanya soal range harga masing-masing menu, Jhon tidak mau menyebut angka pastinya. Semua orang tahu uang mahasiswa itu terbatas. Jadi harga setiap menu kita usahakan murah. Biarlah yang tertarik datang langsung dan membuktikannya langsung, jelas pria yang juga bergiat di budaya ini.
0 Komentar